Tampilkan postingan dengan label Angel Jessica. Tampilkan semua postingan

Juni, 2023

 Jamrud bilang ada pelangi di matamu

Tapi kok yang kulihat badai yang menyergap tanpa aba-aba

Jamrud boleh gugup

Hanya aku yang boleh dikoyak-koyak badai itu


Iman

 Iman adalah tentang bertumbuh,

mekar,

layu,

mati,

bertunas,

tumbuh, mekar, layu, mati,

bertunas,

tumbuh, mekar, layu, mati,

bertunas,

dan begitu saja terus

sampai kelopak bunga dari dirimu berhamburan dan,

dunia yang kita anggap menyebalkan ini sedikit lebih membahagiakan.


pkl. 6 pagi, tuhan masih bungkam

aku ingin jatuh cinta lagi. sekali lagi.

aku ingin puisi puisiku berhenti menyembunyikan namamu

(karena cinta kuat seperti maut?)

karena cinta kuat seperti maut.

(maut pun takut dan enggan membawa bangkaiku yang sudah mati berkali kali)

(karena cinta kuat?)

seperti maut.. seperti maut..


Doa 1

Aku percaya sekali doaku didengar olehNya, begitu pula dengan kutuk dan ucapan tidak sengaja lainnya karena entah mengapa meskipun kata kataku habis untuk puisi tiga tahun terakhir, kata yang mengeja namamu tetap berbaris di lidah, gigi gigi dan tenggorokanku yang sakit.


Aku berdoa semoga kau dijauhkan dari air mata karena cinta yang kau berikan kepadanya harus berhenti besok. Aku berdoa semoga darah yang keluar dari matamu, semoga sakit hatimu sampai ke kepala, semoga cinta yang menipu engkau terus bertahan, membakar dirimu sampai mati.


Aku berdoa semoga engkau sanggup berdiri lagi dan mencintai orang lain, sebesar engkau mencintai cinta yang harus kau akhiri besok. Mencintalah engkau sampai mati, mencintalah sendirian karena engkau tidak layak dicintai karena tafsir dan perangaimu terhadap cinta.


Aku berdoa supaya aku memaafkan dirimu dan engkau pula memaafkan aku karena doaku hari ini. Semoga Tuhan memaafkan engkau. Aku berdoa hanya supaya dunia, bumi, pohon yang kusandingkan, kujadikan nama dan doaku tidak pernah memaafkanmu. Dibencilah engkau oleh air, tanah, bumi, udara, daun dan angin di dunia ini karena engkau tidak sanggup memahami yang sungguh sungguh ada dan tidak ada.


Aku berdoa perasaanku ini berhenti besok sebagaimana engkau juga harus berhenti. Jalanku masih panjang sementara nafasku berhenti, tiga tahun yang lalu di kamar, menangis karena tanggungan puisi. Karena engkau begitu membenci puisiku 


Aku berdoa karena tulisan ini bukan sebuah puisi. Puisi menanggung amarahmu. Dan doa ini menanggung amarahku.


Jam 3 Pagi

Jam tiga pagi.

Tiga tahun dan masih menghitung beberapa kali tiga lagi.

Sampai aku benar benar mengubur jenazah puisi, lukaku paling dalam, dan dosa mencintai yang amat berat.

Mazmur 79:9 Tolonglah kami, ya Allah penyelamat kami, demi kemuliaan nama-Mu! Lepaskanlah kami dan ampunilah dosa kami oleh karena nama-Mu!


Jam tiga pagi.

Masih beribu kali disalib berulang kali.

Mazmur 119:139 Nyala cintaku menghabiskan aku.



PUISI TERBODOH KARENA SAYA BODOH DAN INSPIRASINYA JUGA KISAH YANG BODOH


Kubagikan resah dan kesedihanku kepada puisi, agar kelak kubaca kembali dan kumengerti
Betapa mencintai adalah luka, dan luka adalah tentang kata kata

Kubagikan cintaku yang adalah selalu tentangmu, dan tentang doa yang patah berserakan sejak mulanya.
Betapa cinta asing untuk diimani, dan kau usang untuk diingat kembali

(“Tuhan, apa aku jatuh cinta sama dia aja ya?”)

Kubagikan pertanyaan itu pada puisi, sebab tanda tanya ialah bodoh dan kepercayaanku hilang kendali
Betapa cinta adalah kaki kaki kursi yang patah dan ganjil untuk diduduki

“Angel cantik.”

Kubagikan kebohongan pertama itu pada puisi sebab wajahku asing dalam ingatanmu, dan sejak mulanya mataku bukan apa apa, dan air mata di ujung bulu mataku adalah ketidakingintahuanmu.

“Angel habis nangis. Kenapa?”

Kubagikan sekali lagi pada puisi sebab pertanyaan kenapa selalu tidak ada wujudnya. Ia ghaib dan asing dalam banyak kosakata, begitupun pada bibir dan ingatanmu.

“Kalau gue mau nganterin lo pulang belakangan emang kenapa?”
“Jangan main apa. Panas”
“Gedungnya cantik ya?”
“Lo lucu pake bandana itu”

Kubagikan kalimat itu sebab kita berdua lucunya selalu asing pada kesepian ternyata. Kalimat kalimat murahan ternyata padan dengan perasaan kita yang sia sia sejak mulanya. Perasaanku sebenarnya. Perasaanmu? Siapa tahu?

“Lah emang lo laku? Kayak ada yang mau aja sama lo”
“Jangan suka godain dia kenapa?”
“Terus aja. Jalan sama laki laki yang mana lagi?”

Kubagikan kebodohanku saat kupikir kalimat kalimat itu karena kamu cemburu. Lucunya, kau marah waktu itu saat ada laki laki yang mendekatiku. Kalau tidak salah, dua laki laki. Satu gugup saat kamu jawab semua pertanyaannya tentangku seakan paling tahu. Satu gugup karena kamu bilang untuk jangan menggangguku.

“Apaansih gue peka kok sama lo”
“Lo tuh nggak peka Ngel”
“Angel nanti mau punya anak namanya siapa?”

Kubagikan kalimat itu kepadamu, agar kelak kau baca, kau mengerti betapa kalimat yang keluar dari mulutmu tanpa dipikir itu sungguh, sungguh neraka

“Angel kalau nikah mau hari apa?”
“Bagus dong bisa masak. Jadi nanti kita nggak perlu beli.”
“Angel pakai baju putih kayak pengantin”

Iya, bodoh bukan? Imajinasi anak kecilku dibangunkan oleh kalimat yang tidak dipikirkan.

“Angel belajar mangkanya nyuapin gue”
“Kucing aja diurusin”
“Angel harus belajar coba, potongin kuenya”
“Angel paling suka es teh.”
“Angel tuh emang kayak gitu coba. One and only.”
“Angel kayak daging gelonggongan”
“Angel kalau gue nyebur ke danau, lo nyebur juga nggak?”
“Angel sedih karena filmya tentang keluarga kan?”
“Jadi maksudnya Angel tuh gini..”
“Angel kukunya doang yang cantik”
“Iyalah, Angel sekarang cantik”
“Angel, kapan kapan nonton teater yuk”
“Lo tuh nggak bisa banget dibilangin ya?
“Oh gitu jadi bisa sakit tapi nyuekin satu orang doang bisa?”
“Mangkanya, kalau pulang hatinya tenang”
“Nggak ada arti bukan berarti nggak berarti”
“Gue tuh lebih emosional dari ini.”
“Kalau gue nggak kayak gii, lo nggak bakal liat gue lagi sekarang”
“Gue nggak suka kalo lo dikatain ya gajelas”
“Angel kamu mau makan apa jalan kaki aja sih?”
“Angel nggak kayak gitu. Lo aja lebay”
“Gue aja lebih inget apa yang lo omongin daripada lonya sendiri”
“Gue bahkan lebih kenal lo dari lo kenal diri lo sendiri”
“Kalau emang passion lo di situ, ya jalanin.”
“Bisa nggak sih nggak usah nyolot?”
“Minta maaf dengan dasar apa?”
“Gue nggak ngerti sama puisi lo”
“Iya bikinnya sambil nyolot. Bagus kan hasilnya?”
“Pamer”
“Maaci”
“Gue nangis kalau lagi marah.”
“Gue nggak apa apa kalo dihina, tapi jangan sampe gue denger orang yang gue sayang, orang tua gue yang dikatain”
“Bokap gue, itu berusaha untuk bisa tampil di depan Ngel. Bokap gue, walaupun emang nggak profesional tapi dia berusaha banget bisa melayani”
“Nyokap gue itu ngalahin penatua kali ya soal ilmu tentang alkitab. Kalah deh semua”
“Kayaknya dia berubah deh, jadi lebih gampang dibilangin”
“Iya gue suka banget sama dia. Itu sih gue kejar”
“Gue suka sama yang ini itu udah lama.”
“Long and complicated story, Ngel. Lo gatau aja”
“Angel benci sama gue?”
“Gestur lo aja benci sama gue”
“Asal dia bahagia. Gue turutin maunya apa.”
“Habis nangis ya?”
“Kasarnya, Ngel. Dia begini ke gue juga gara gara lo”
“Harusnya yang sakit hati dia, bukan lo. Dia begini ke gue gara gara nggak mau nyakitin orang yang suka sama gue. Kasarnya dia begini ke gue, juga gara gara lo”
“Bisa jadi dia begitu ke lo karena kasihan kepingin gue berubah, akhirnya suka ke lo”
“Lo nggak boleh sakit hati ke dia, dia mikirin lo”
“Lo bisa nggak sih suaranya alusin. Lo ngomong sama abang lo kasar begino]i lo pikir kuping gue nggak sakit?
“Lo cuma mikirin perasaan dia Ngel. Lo nggak mikirin perasaan gue”
“Lo adore sama dia, beda”
“Gue cuma pengen dia bahagia.”
“Segitunya gue nggak cocok sama dia?”
“Cobain deh eh tapi jangan deh mungkin nanti lo iris leher”
“Lo nggak peduli sama gue”

Kubagikan ini pada puisiku, agar kau baca. Seandainya bisa, terkasih. Semua pertanyaan dalam kalimat kalimat di atas, kamu jawab sendiri. Sisanya, memang tanggungan puisi ini. Bukan lagi tanggunganmu


Kisah Iseng Chandraningtyas (Sebetulnya ada lima, tapi dihapus semua, sisa satu ini)


Sudah beberapa minggu ini, aku, sebagai penulis berusaha mengenali figuran yang sudah terlanjur terjebak dalam beberapa tulisanku. Kubaca ulang, terus menerus. Sebagai penulis yang baik, menurutku, adalah kewajiban untuk mengenali setiap rekaannya. Bukan hanya kenal justru, memahami.

Aku, kebetulan juga, terjun langsung menjadi figuran, itu pun tidak sengaja, mungkin sudah takdirnya. Jadi figuran, begitu melelahkan. Kebetulan, aku dipilihkan untuk terjun ke cerita Ramayana, itu loh kisah cinta Rahwana, Shinta dan Rama. Bukan, bukan Ramayana sungguhan seperti di cerita wayang itu. Tapi menyerupai lah, anggap saja ini versi populernya. Jarang bukan, aku behubungan dengan karya tulis populer.

Jadi figuran sama sekali menyenangkan di awal, bahkan aku tidak tahu kalau aku seorang figuran. Aku terus saja hidup, mengimbangi tokoh utama, dan hampir lupa diri. Wah, bukan salahku kan jika pencerita juga tidak memberitahuku? Kasih semacam clue saja tidak. Sebut saja, namaku.. hmm Chandraningtyas? Chandraningtyas kulihat di salah satu website nama Jawa, artinya seorang perempuan yang hatinya seterang bulan. Aku tidak seperti itu sih, hanya suka saja namanya. Cantik. Inti cerita, adalah Rahwana mencintai Sinta, Rama mencintai Sinta, Sinta entah mencintai siapa, kalau di kisah Ramayana sih jelas, Sinta mencintai Rama, dan Aku mencintai Rahwana. Jangan tanya, siapa yang mencintaiku, sudah jelas ia tidak masuk dalam kisah ini. Atau mungkin figuran lainnya? Ah bodo amat. Awalnya, Chandraningtyas ini begitu menikmati perannya jadi figuran sampai sampai ia terlalu menyayangi semua tokoh dalam cerita ini, iya termasuk Shinta. Shinta memang agak menyebalkan, jelas, aku dan beberapa figuran seringkali gosipin dia. Tapi, Sinta kalau moodnya baik, itu baik banget loh. Dan Chandraningtyas diajarkan papanya untuk nggak melupakan perbuatan baik orang. Chandraningtyas juga sudah berani, berani buat dialog dengan tokoh utama satunya, ia Rahwana. Berani banget nggak sih? Itulah, figuran nggak tahu diri. Mau buat ceritanya sendiri, eh malah mati. Bukan, bukan karena perang, apalagi dikutuk seorang Brahmin. Ia memang harus mati, dan mematikan diri sendiri.

Bukan, bukan bunuh diri. Enak banget kalau bisa bunuh diri. Figuran memang harus begitu, harus mati. Masih bersyukur dikasih beberapa paragraf, pakai dialog lagi.

Sakit betul memang jadi figuran. Pertama, ia sudah jelas tidak ada dalam alur cerita, keberadaannya tidak akan digubris pembaca, masih syukur ada dua tiga orang yang ingat namanya, iya Chandraningtyas, kuulang biar kamu ingat. Kedua, dia terlanjur nyaman dengan tokoh tokoh yang ada dalam cerita itu, sayang lagi. Padahal, sebaris kalimat lagi, figuran sudah harus mati. Ketiga, ya itu, cinta bertepuk sebelah tangan dengan Rahwana saja sudah bikin demam dan nggak mau kemana mana, nah ini cintanya kepada Sinta juga bertepuk sebelah tangan, hampir hampir dia pikir cintanya juga bertepuk sebelah tangan dengan si Pencerita. Keempat, bukan hanya terlalu nyaman dengan tokoh tokohnya, ia juga terlalu nyaman dengan latar tempat, latar waktu, latar suasana yang ada di tiap tiap baris cerita. Latar tempat dalam cerita ini memang bukan istana Alengka, jelas bukan, tapi Chandraningtyas sudah terlalu lama ada di situ. Ia sampai bisa berjalan ke toilet, atau ruang apapun tanpa melihat. Latar waktu juga begitu, bayangkan bertahun tahun, ia terbiasa ada di situ setiap waktu, namun kini, ia sampai ngechat tiap orang untuk nanya apakah ada yang free malam minggunya biar bisa nemenin Chandraningtyas. Habisnya, kalau di rumah Chandraningtyas cuma bisa nangis, dasar bego. Latar suasana apalagi, ya bayangkan saja, Chandraningtyas sudah menganggap kisah Ramayana jadi jadian ini adalah rumah. Harus pergi dari rumah, adalah mati pertama yang dialami Chandraningtyas.

Sebetulnya, Chandraningtyas bisa saja tidak pergi dari kisah ini dan menikmati terus perannya sebagai figuran. Tapi apa daya, hati Chandraningtyas nggak sekuat itu ternyata. Sudah ditolak Rahwana, dimarah marahi, dasar Dasamuka gila, lalu dibilang kalau perannya disitu pun justru membawa ketidakbahagiaan bagi Rahwana. Ironisnya, hampir seluruh monolog Chandraningtyas adalah doa agar Rahwana bahagia, itu saja. Memang sudah outlinenya kali ya Chandraningtyas itu bawa sial. Belum lagi harus melihat wajah Rahwana yang patah hati karena ditolak Shinta. Kalau bunuh diri nggak dosa dan menyangkal si Pencerita, sudah dari dulu Chandraningtyas lakukan. Belum lagi Shinta yang masih saja ngeledekin Chandraningtyas dengan Rahwana, sudah tahu Rahwana sukanya sama dia. Untuk apa lagi? Kepingin Chandraningtyas sakit hati seberapa lagi? Masih sempat juga lagi, kadang nyuekin kadang negor. Pakai ngeblock segala. Lucunya, Rahwana yang mengira Shinta suka sama dia. Mau sedih tapi rasanya kepingin mampus mampusin, tapi mau senang juga nggak bisa, siapa yang bisa ngeliat sepuluh wajah Rahwana sedih? Chandraningtyas bisa gila. Lah kita semua, juga tahu Shinta sukanya sama siapa, baru nolak Rahwana, besoknya makan Sumoboo sama Rama satu mangkok berdua, belum lagi Shinta juga ngodein Rama mulu di Whatsapp Group, Rama juga udah mikir mikir mau ngawinin Shinta. Tapi, Chandraningtyas bisa apa? Apapun yang ia lakukan sekarang juga tidak bermakna, nggak ngaruh apa apa. Nih ya, kalau apes, dan si Rahwana baca tulisan ini. Habis Chandraningtyas dimarahi, tapi bodo amat. Please, kalau baca dan geer kalau situ Rahwananya, diam aja. Ini tuh fiksi tau.

Chandraningtyas tahu lebih sakit untuknya kalau meninggalkan cerita ini, tapi apa gunanya bertahan jika ujung ujungnya mati, kemungkinan dihabisi pula. Kalau menurut pembaca, figuran seperti Chandraningtyas ini harus apa sih? Soalnya, Chandraningtyas sudah kehabisan teman yang free malam minggunya, dan rasa sakit yang cuma dibawa kabur kayak gini, nggak bakal sembuh. Pencerita, belum sebaik itu untuk melanjutkan cerita Chandraningtyas. Kalau boleh, kasih aja Chandraningtyas teenlit komedi yang latarnya sama, jadi Chandraningtyas bisa ketawa ketawa dan nggak perlu pergi dari situ. Itu pun kalau boleh, ini saja masih bisa curhat sudah alhamdulillah.

Chandraningtyas masih mau ada di situ kok Pencerita. Tapi Chandraningtyas mau bahagia. Sumpah.


Sepenggal Kisah Ayu dari Kisahnya yang Panjang Itu - Dua Bab Sebelum Epilog


“Waktu gue kecil, gue nggak banyak mau, nggak banyak minta. Sekalinya gue minta, waktu itu gue minta mainan mobil yang pakai remote control, pas nggak dikasih gue sakit.”

Aku mengerti.

+++

Bekas hujan yang basah di tapak kaki kita adalah bukan apa apa lagi, sejak waktu itu. Bukannya baru kali ini, aku sadari kalau jelas laki laki di hadapanku sekarang tidak mencintaiku. Hanya saja, selama ini aku terus saja yakin akan ada keajaiban, yang entah datang dari mana. Kupikir, cinta tidak pernah sia sia.

Iya jelas, sampai ada yang lain membawakan cinta yang diinginkannya.

Kalimat itu terus terngiang ketika aku teringat kembali, dulu kamu pernah sebegitunya mendekati perempuan, yang mungkin baru kaukenal dua hari itu. Kupikir, bodoh sekali cinta yang seperti itu. Tapi, dipikir pikir. Cinta mungkin, memang tidak butuh waktu. Dan seperti mobil remote control itu, laki laki yang kucintai itu mencintainya.

Bekas hujan yang basah di tapak kakiku adalah mengerti tentang aku yang seharusnya pergi, sejak lama sekali. Bekas hujan yang basah di tapak kakiku paham betul tentang cinta seharusnya butuh kuda kuda.

Bekas hujan yang basah di tapak kakiku adalah harusnya tidak bertanya tanya lagi, karena semua yang kau lakukan, sebaik yang bisa kupahami, adalah cinta yang putus asa dan tidak mengerti dan tidak percaya dan tidak ingin.

Kau jelas, tidak ingin mencintaiku.
Aku mengerti.

+++

“Ayu!”

Laki laki itu, yang kucintai itu, namanya Rangga. Seperti doa, dia jelas jelas adalah pelindung. Dia adalah pelindung kesepian yang dahaga, dan air mata yang selalu ada di ujung mata.

“Iya mas Rangga, kenapa?”
“Kamu kenapa?”

Ah pertanyaan yang sama, itu lagi. Kenapa.
Pertanyaan yang selalu itu itu saja. Awalnya kupikir itu adalah bentuk kepedulian, atau apa. Sudahlah aku tak mengerti.

“Nggak apa apa.”

Dan, kembali, jawaban yang sama.

Mas Rangga hanya tersenyum, lain kali ia bisa marah jika dijawab begitu. Dijelaskan, dijawab pun tak akan ada hasilnya. Dia akan selalu begitu. Selalu.

Bagaimana bisa kujawab, semua alasan kesedihanku adalah tentang dirimu, Mas.

Mungkin, dugaanku memang benar. Mungkin akulah yang sulit dicintai. Mungkin, aku tak akan pernah bisa dicintai.

“Ayu, lo kenapa? Nggak mungkin nggak kenapa kenapa.”

+++

Banyak hal yang kucintai tentang laki laki yang kucintai itu. Begitupun banyaknya pertanyaanku yang gila lompat lompat di kepala, tiap detiknya.

Salah satunya, ia pandai memungut hujan, apalagi kesedihan.
Begitupun juga, ia pandai memanggil hujan, sederas derasnya, juga kesedihan.

Rangga, memang bukan Pandawa Lima. Tapi asal tahu saja, ibunya secantik Dewi Kunti, dengan kewibawaan yang kira kira setara kisah legenda tentang Alengka. Rangga, adalah teka teki, lukisan tanpa pola, abstrak impresionis

“Kalau saya suka banget sama lukisan Cy Twmbly. Browsing deh”

Cy Twombly. Kau. Serupa

+++

Aku menghanyutkan diriku dalam angin yang menerpa bulu matamu, dan putus asa yang nyala dalam batinku.

Aku mengerti.

+++

“Ayu, ini perasaan gue doang atau memang perempuan itu berubah ya?”




Perempuan = Laki Laki = Perempuan!


Perempuan = Laki Laki = Perempuan!
Sebuah Tulisan Imajinasi Sosiologis Kritis Derrida Mengenai Oposisi Biner
Angel Jessica, Sastra Indonesia UNJ

Bisa dibilang tulisan ini memang dibuat karena setelah membaca beberapa pdf atau e-book yang membahas Derrida dan imbas dari menjadi panitia Women’s March Jakarta dua tahun berturut –turut. Meskipun tidak hadir saat march tahun ini, selalu saya sempatkan waktu saya untuk melihat perkembangan dan tentu saja, poster-poster yang dibawa peserta tahun ini. Dan setiap tahunnya saya selalu me-reposting poster-poster yang saya suka sebagai bentuk apresiasi dan dukungan yang sama.


1.        Perempuan = Laki Laki = Perempuan. Loh?

Jika saya melihat kalimat tersebut saat ini, yang ada di pikiran saya bukan lagi hanya sekadar kata perempuan dan laki laki secara makna leksikal atau makna-makna yang dirumuskan atau makna yang sudah disepakati bersama tentang apa yang ditandai oleh masing masing kata tersebut. Sekarang makna ujaran perempuan/kata perempuan dan makna ujaran laki-laki/kata laki-laki adalah seperti sebuah lingkaran yang beririsan di banyak titik.

Saya kemudian berpikir, kata perempuan dan laki laki sendiri, saat ini, bukan lagi permainan sederhana bagi saya sebagai seseorang yang mempelajari bahasa. Kata perempuan dan laki laki, adalah sebuah wacana sosial yang rentan dan abstrak.

Jika dalam kesusasteraan sendiri, jika saya memandang kata perempuan dan laki laki, tentu saja secara keseluruhan menjadi milik saya sebagai penulis ataupun pembaca dalam menafsirkannya. Tapi apa iya, saya pun sebagai seorang penulis atau pembaca mampu keluar dari strukturalisnya, dan berani menceburkan diri dalam keabstrakan kata kata tersebut?

2.      Derrida; pendukung kesetaraan gender?

Membicarakan perempuan dan laki-laki baik dalam lingkup humaniora, termasuk bahasa tidak lepas memang dari isu isu feminisme. Derrida, atau lengkapnya Jacques Derrida adalah sebuah filsuf posmodernisme yang mengkritik Saussurian, pendukung Ferdinand De Saussure, seorang linguis yang dianggap sebagai pembangun semiotika yang pada saat itu mencetuskan sebuah teori oposisi biner, yang sangat mengkotak-kotakan makna berdasarkan hierarki. Pada saat itu, kata perempuan dan laki-laki juga masuk dalam teori oposisi biner ini yang dimana laki-laki sebagai dominan dan perempuan sebagai submisif, atau kasarnya laki laki di atas dan perempuan di bawah. Derrida melihat bahwa sumbu bipolar yang digunakan Saussurian ini sebagai sebuah represi dalam pemaknaan. Jacques Derrida dengan ini membongkar struktur dan kode-kode bahasa, khususnya struktur biner, sedemikian rupa, sehingga menciptakan satu permainan tanda tanpa akhir dan tanpa makna akhir.

Brook dalam bukunya “Posfeminisme” mengatakan bahwa teknik dekonstruksi Derrida menjelaskan bahwa jika teori feminis ingin berhasil dalam penentangannya pada wacana alat kelamin sentris hal tersebut tidak bisa dilakukan dari posisi di luar falosentrisme (1997: 112). Falosentrisme adalah neologisme yang diajukan oleh Jacques Derrida yaitu mengistimewakan phallus atau penis sebagai simbol kekuasaan. Berarti, falosentrisme ini adalah suatu kecenderungan untuk memandang kehidupan dan mendefinisikan segala sesuatu dengan menggunakan perspektif laki-laki (Budianta, 2002: 207).

Alasan akhirnya saya menyimpulkan bahwa Derrida adalah seseorang yang mendukung kesetaraan gender adalah karena teori beliau menurut saya adalah akar dimana bahasa, bahkan wacana humaniora dapat dikritisi dan dijembatani agar menjadi wadah yang sama bagi seluruh kelompok atau sub di masyarakat. Dekonstruktif Derrida mengkritisi falosentrisme yang mendasarkan diri pada oposisi biner logosentrisme di mana privilege berada di tangan laki-laki. Dekonstruksi Derrida yang menghilangkan adanya dikotomi dan memusatkan perhatian pada hal-hal yang bersifat marginal membantu feminisme mendukung perjuangan perempuan untuk melawan patriarki. Patriarki mengacu pada sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin bagi perempuan. Dengan demikian, langsung atau tidak langsung, tersurat atau tersirat, melakukan subordinasi terhadap perempuan.

Saya rasa sebetulnya tujuan dari Derrida ini memang pada akhirnya memang tujuan yang sama seperti yang saya cita citakan, seperti yang feminis dan pejuang kesetaraan gender cita-citakan, yakni  bebas dari penindasan, dominasi, hegemoni, dan ketidakadilan, dengan begitu tercipta masyarakat yang adil dan setara, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Tujuan akhir bukanlah kemenangan suatu kelompok atas kelompok lainnya (dalam hal ini perempuan atas laki-laki), atau pemusatan kekuasaan dalam satu pihak, melainkan penataan kembali kesamarataan semua kelompok dan sub masyarakat.


3.      Perempuan = Laki-Laki = Perempuan. Nah!

Seperti halnya yang dicanangkan Derrida, saya rasa teman saya, Viola dalam posternya juga menginginkan sebuah kritik atas strukturalisme oposisi yang sepertinya memang sudah kuno jika diterapkan pada masyarakat kini meskipun masih banyak juga yang masih berpegang pada makna biner tersebut. Kalimat ‘Perempuan=Laki-Laki=Perempuan’  ingin membongkar
hierarki oposisi biner. Jika kita cermati, Viola memakai tanda baca sama dengan (=) yang menandai kesamaan / kesejajaran antara perempuan dan laki-laki.

Kalimat yang ditulis dalam poster teman saya dalam Women’s March Jakarta 2019 kemarin seakan ingin mengkritisi, seperti halnya Derrida mengkritisi, budaya strukturalis kuno dimana perempuan telah didefinisikan sebagai ‘sesuatu’ yang lain dari laki-laki. Dengan kata lain, wanita secara historis ditentukan oleh hierarki oposisi biner, di mana wanita ditempatkan secara rendah dibanding pria. Hal ini bukanlah sesuatu yang baru karena oposisi hierarkis ini sebetulnya mengakar pada pembagian tradisional peran pria dan wanita dalam sejarah. Dan kalimat ‘Perempuan=Laki-Laki=Perempuan’ menurut saya adalah kalimat yang paling tepat untuk membongkar budaya strukturalis tersebut.

Derrida dan pendukung teori dekonstruksinya, tentu saja juga pendukung feminisme berpandangan bahwa dekonstruktif atas hubungan perempuan dan laki-laki memang menegaskan perbedaan perempuan dan laki-laki secara gender ataupun seksualitas adalah sesuatu yang natural, tetapi pembagian peran berdasarkan gender dan seksualitas dapat digugat dan dipersoalkan sebagai akar masalah subordinasi atas perempuan di dalam sejarah. Dengan kata lain, Derrida dan teman saya tadi ingin membeberkan bahwa kenyataan bahwa hierarki perempuan dan laki laki dengan pembagian peran dan kerja yang sangat subordinatif atas perempuan yang pada dasarnya dibentuk oleh kuasa dan sejarah kaum pendukung patriarkis atau falosentris dapat dibongkar lewat pemberian keluasan makna kata perempuan dan laki-laki tanpat mengkotak-kotakan kata tersebut menjadi sebuah oposisi biner hierarkis yang maknanya itu-itu saja.


Daftar Pustaka
1.      Amminudin. 2002. “Pendekatan Pasca Struktrural: Jacques Derrida” dalam Kris Budiman
(ed), Analisis Wacana: Dari Linguistik sampai Dekonstruks. Yogyakarta: Kanal.
2.      Budianta, Melanie. “Pendekatan Feminisme terhadap Wacana” dalam Kris Budiman
(ed.), Analisis Wacana: Dari Linguistik sampai Dekonstruks. Yogyakarta: Kanal.
3.      Brooks, Ann. 1997. Posfeminisme dan Cultural Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra
4.      Howells, Christina. 1999. Derrida, Deconstruction from Phenomenology to Ethics. Blacwell Publishers Inc. USA
5.      Norris, Christoper. 2008. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.


PENGERTIAN DAN HAKIKAT PENDEKATAN STILISTIKA

Stilistika dalam konteks bahasa dan sastra mengarah pada pengertian studi tentang style (gaya bahasa), kajian terhadap wujud performasi kebahasaan (Nurgiyantoro, 1998:2179).

Dengan memahami gaya dalam perspektif kesejarahan, dapat diketahui bahwa studi stilistika dalam konteks kajian sastra secara rasional dapat memanfaatkan berbagai wawasan untuk menentukan sudut pandang maupun sikap dan sifat kajian. Studi stilistika seakan-akan hanya perpanjangan tangan kajian linguistik. Sedangkan dalam kenyataannya, studi stilistika tersebut ditinjau dari sejarah perkembangannya dapat dihubungkan dengan sejumlah disiplin keilmuan, baik retorika, semiotika, linguistik, maupun teori sastra (Aminuddin, 1995:2)

Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1998:280) stilistika kesastraan merupakan sebuah metode analisis karya sastra yang mengkaji berbagai bentuk dan tanda-tanda kebahasaan yang digunakan sperti yang terlihat pada struktur laihirnya. Metode analisis ini menjadi penting, karena dapat memberikan informasi tentang karakteristik khusus sebuah karya sastra. Bahkan, menurut Wellek dan Warren, ia dapat memberikan manfaat yang besar bagi studi sastra jika dapat menentukan prisip yang mendasari kesatuan karya sastra, dan jika dapat menemukan suatu tujuan estetika umum yang menonjol dalam sebuah karya sastra dari keseluruhan unsurnya (Wellek dan Warren).

Melalui pendekatan stilistika dapat dijelaskan interaksi yang rumit antara bentuk dan makna yang sering luput dari perhatian dan pengamatan para kritikus sastra (Panuti Sudjiman, 1993:vii). Sebab, kajian stilistika dalam ssatra melihat bagaimana unsure-unsur bahasa digunakan untuk melahirkan peasan-pesan dalam karya sastra. Atau dengan kata lain, kajian stilistika berhubungan dengan pengkajian pola-pola bahasa dan bagaimana bahasa digunakan dalam teks sastra secara khas.

Langkah pertama yang lazim diambil dalam analisis stalistika adalah mengamati deviasi-deviasi seperti pengulangan bunyi, inverse susunan kata, susunan hierarki klausa, yang semuanya mempunyai fungsi estetis seperti penekanan, atau membuat kejelasan atau justru kebalikannya: usaha estetis untuk mengaburkan dan membuat makna menjadi tidak jelas (Wellek dan Waren, 1993: 226).

Stilistika adalah pendekatan kritis yang mempergunakan metode-metode dan pengetahuan linguistik untuk mempelajari karya sastra dan non-sastra. Pendekatan ini bertujuan untuk mempelajari cara fitur-fitur linguistik mempengaruhi makna sebuah karya secara keseluruhan dan efek-efeknya pada pembaca.

Pada mulanya, stilistika lebih terbatas pada persoalan bahasa dalam karya sastra. Namun dalam perkembangannya, pengertian gaya juga dilihat dalam hubungannya di luar karya sastra. Maka dibedakan anatar gaya sastra dan gaya non sastra. Jalan pikiran yang nmenyebutkan betapa eratnya hubungan antara bahasa sastra dapat dikemukakan sebagai berikut. Pada perinsipnya , ‘seni sastra’ (baca juga ‘seni bahasa’) dapat dipandang dari dua segi kemungkinan. Pertama, ‘seni sastra’ dipandang sebagai bagian dari seni pada umumnya. Di sini, karya sastra dikaji sebagi objek estetika, dengan mengkhususkan perhatiannya pada gejala bahasa , plastik bahasa, dan penggunaan bahasa kias/majas atau bahasa figurative (figurative language), serta sarana retorika yang lain. Jadi pengkajiannya masuk kedalam kajian stilistika, retorika dan estetika. Kedua, seni sastra dipandang sebagai bagian dari ilmu bahasa (linguistik) pada umumnya.Dalam hal ini seni sastra dikaji dengan berdasarkan penggunaan bahasa yang khas. Jadi masuk pada lingustik terapan. Ia dikaji ragam bahasa yang digunakan. Apa jenisnya. Penekanannya pada pengkajian teks sastra. Landasan teorinya adalah konvensi-konvensi atauu konsepsi-konsepsi sastra atau bahasa


Kusala Literary Award: Pontifikat dalam Kesusasteraan Indonesia


Kusala Sastra Khatulistiwa yang sebelumnya –2014 bernama Khatulistiwa Literary Award adalah sebuah ajang penghargaan bagi dunia kesusastraan Indonesia yang didirikan oleh Richard Oh dan Takeshi Ichiki dan mulai dilaksanakan sejak tahun 2001. Pemenang Kusala Literary Award didasarkan pada buku-buku puisi dan prosa terbit dalam kurun waktu satu tahun terakhir, yang kemudian diseleksi secara ketat oleh para dewan juri.

Latar Belakang Kusala Literary Award

Kusala Literary Award lahir dari sebagai bentuk apresiasi kepada para penulis Indonesia. Di tahun 2000, Richard Oh melontarkan sebuah gagasan untuk memberi penghargaan kepada penulis Indonesia. Richard Oh sangat prihatin dengah kondisi kehidupan kebanyakan penulis Indonesia. Kebutuhan untuk perangkat kerja seperti komputer dan tuntutan keseharian semakin menggerus waktu dan kenyamanan para penulis untuk meneruskan eksplorasi mereka dalam sastra. Keprihatinan itulah yang kemudian membuat Richard Oh berpikir sebuah anugerah sastra dengan pundi yang memadai dapat sangat membantu meringkan beban para penulis.
Dari sini terlahirlah Khatulistiwa Literary Award, yang pada tahun 2014, diganti namanya menjadi Kusala Sastra Khatulistiwa. Selama 16 tahun, Kusala Sastra Khatulistiwa berkembang terus berkat masukan-masukan dari berbagai pihak di komunitas sastra. Sejak awal pendirian, Kusala Sastra Khatulistiwa dirancang sebagai sebuah anugerah sastra dari komunitas sastra untuk para penulis. Oleh karena itu, berbagai format penyeleksian dan penentuan dikembangkan agar Kusala Sastra Khatulistiwa tetap bertahan sebagai sebuah anugerah yang mencerminkan kehendak kebanyakan orang dalam komunitas sastra.

Sistem Penjurian

Sistem Penjurian dalam Kusala Literary Award, dalam kamus saya, seperti sangat rahasia. Tidak ditemukan artikel atau jurnal yang benar benar menjelaskan bagaimana pemenang Kusala Tilerary Award ini dipilih. Menurut sebuah wawancara, proses penjurian pertama kali adalah, Richard Oh sebagai penggagas Kusala Literary Award memilih sendiri ketua juri, lalu nanti ketua juri yang akan memilih juru juri lainnya. Juri juri lainnya tidak saling mengetahui dan mereka nantinya akan memilih karya sastra yang akan dijadikan kandidat. Keputusan akhir  akan diputuskan bersama.
Mengenai bagaimana penjurian dilakukan pun sepertinya menjadi bahan perdebatan, karena tidak seperti lomba-lomba pada umumnya, pertanggung jawaban juri ats proses penjurian tidak pernah dipublikasikan. Saya sendiri menyimpulkan, bahwa sejatinya, Kusala Literary Award ini hanya bersifat selera pribadi saja.

Kusala Literary Award: Paus yang Tak Punya Kuasa

Kusala Literary Award, seberapa abstraknya dan seberapa banyak masalahnya, tetap sajapunya andil yang sangat besar dalam kesusateraan Indonesia. Selain hadiahnya yang memang lumayan, penghargaan Kusala Literary Award merupakan salah satu penghargaan sastra terbesar di Indonesia.
Namun, yang dipertanyakan adalah, jika visi dari pembentukan Kusala Literary Award adalah untuk membantu penulis agar terus mengeksplorasi sastra, mengapa justru karya satsra yang dianugerahi label terbaik ini justru tidak laku di pasar sastra?
Malam Penganugerahan Kusala Literary Award 2018 yang diselenggarakan Oktober 2018, mengumumkan pemenangnya, yakni dalam kategori puisi adalah Museum Masa Kecil karya Avianti Armand, kategori prosa adalah Kura-kura Berjanggut karya Azhari Ayyub, dan kategori karya pertama dan kedua adalah Ibu Susu karya Rio Johan.
Saat membaca judul pemenang Kusala Literary Award 2018, saya kembali mempertanyakan kekuasaan pengaruh Kusala Literary Award ini. Apakah penghargaan Kusala Literary Award  ini benar benar sebuah ajang berprestasi yang harus dibanggakan penulis, atau mungkin justru tidak. Kusala Literary Award, mungkin memang berpengaruh secara prestise, tetapi seakan tidak punya kuasa apa apa. Kusala Literary Award ini bagaikan raja terkenal yang sudah mati, membanggakan memang, tapi tidak punya kuasa dan disegani. Kenyataannya memang, semua judul karya sastra di atas tidak pernah ditemukan di rak best-seller di toko-toko buku, atau bahkan kutipannya mencuat di media sosial.
Jadi, Kusala Literary Award dalam kesusasteraan Indonesia khususnya, apakah benar benar punya kuasa dan prestise, atau justru kalah kuasa malah dengan kepausan toko buku besar dan pontifikat pontifikat kecil kesusateraan di media sosial.


Sayap Sayap Patah - Sebuah Laporan Bacaan


Sebelum menuliskan keindahan dari buku ini, buku ini awalnya ditulis tahun 1912, didedikasikan untuk Mary Elizabeth Haskell, perempuan yang sungguh dicintai oleh Gibran. Mungkin memang fiksi, tetapi disini kita bisa melihat bagaimana seorang Kahlil Gibran menggambarkan cinta yang tidak membahagiakan.

Tokoh utama dari cerita ini adalah seorang pemuda, yang menggambarkan Kahlil Gibran itu sendiri, dan seorang perempuan bernama Salma Karama, yang berumur 20 tahun kala itu. Mungkin saja, ini adalah cinta pertama dan terakhir Kahlil Gibran. Salma adalah gadis cantik muda dari Beirut yang digambarkan begitu indah seperti kolam, begitu dalam sedalam lautan, dan menghidupi hidupnya. Cerita dimulai ketika Gibran pergi ke Lebanon untuk jalan-jalan dan bertemu dengan sahabat ayahnya, Farris Effandi Keremy. Farris berusia cukup tua dan sangat lembut dan baik hati dan telah kehilangan istrinya ketika Salma masih remaja. Dia mengundang Kahlil Gibran ke rumahnya. Suatu malam Gibran pergi ke sana dan bertemu dengan seorang gadis cantik Selma yang merupakan putri Farris, dan begitulah mereka saling jatuh cinta.

Cinta sejati mereka akhirnya tidak membahagiakan karena Salma dipaksa menikahi keponakan Uskup Bulos Galib yang bernama Mansour, yang meskipun tanpa restu dari ayahnya tetapi tetap dilaksanakan karena tidak ada yang bisa melawan Uskup. Kehidupan Salma berubah menjadi kesengsaraan setelah pernikahannya, sementara Gibran menderita kehilangan perempuan yang dicintainya.

Dan setelah lima tahun menikah. Salma melahirkan seorang anak laki-laki  yang meninggal segera setelah ia dilahirkan. Selma juga, pada akhirnya, meninggal.

Sungguh, cerita ini adalah cerita paling tragis, dan menyedihkan, menurut saya setelah Romeo & Juliet dari Shakespeare. Ini adalah adalah kisah cinta yang sederhana, sejuk, tenang, lembut, dan dengan akhir yang menyedihkan. Cerita ini memberitahu kita bagaimana mengekspresikan diri tanpa mengucapkan sepatah kata pun dan bagaimana cara mendengarkan keheningan. Cerita ini memberi tahu kita apa arti kata “cinta”  yang sesungguhnya dan makna dari kebahagiaan dan juga kesedihan. Cerita ini menceritakan betapa mudahnya memahami cinta yang sesungguhnya namun betapa sulitnya kadang-kadang teguh memegangnya.

Dalam cerita ini juga, Kahlil Gibran mengatakan bahwa cinta itu seperti air, kita tidak bisa menahannya di tangan. Kita bisa menghirupnya di dalam diri kita, tetapi kita tidak bisa menahannya, air itu masuk ke dalam diri. Bahkan, air itu menghasilkan kehidupan di dalam diri kita. Cinta bukan tetntang mendapatkan, sebaliknya itu bukan kerajaan atau permainan yang kita butuhkan untuk menang, tetapi itu sebuah perasaan yang lebih menginginkan untuk memberi daripada mendapatkan atau berekspektasi. Kahlil menuangkan pikirannya yang murni dalam cerita ini.

Saya membaca buku ini pertama kali ketika kelas dua SMP, dan begitulah saya jatuh cinta dengan puisi dan prosa dan seluruh kata kata cinta yang apik dan bernilai. Sayap Sayap Patah bukan hanya sebuah buku, melainkan sebuah karya seni. Karya seni yang begitu mengesankan untuk bukan hanya sekadar dibaca, namun juga direnungkan, mengingatkan kembali diri kita sendiri tentang kemurnian jiwa dan cinta.

Salah satu kutipan yang paling saya suka dari buku ini adalah,
"The heart of a woman does not change with time and does not change with the seasons, the woman's heart is long but not dead. The heart of a woman resembles the wilderness that man takes as a battlefield for his wars and his escape. He uproots her trees, burns her herbs, stabs her rocks with blood and implants her bones and skulls, but remains calm, still and reassuring. The spring keeps spring and autumn to the end of the ages ... "



Pohon

Pohon adalah sebuah nama. Sebuah identitas. Sebuah jejak yang kutafsirkan sebagai pengingat kita, kelak, bahwa kita pernah berdiri dan nanti, bersemayam di dunia ini.
Saya terus mencoba menjejali identitas saya sebagai kata yang tak pernah padam,seperti puisi cinta yang berani, atau suara suara suram yang begitu mengenali kesedihanku, kesedihanmu.
Saya ingin riuh di kepala mereka sebagai wujud puisi dan prosa yang lekat akan diriku dan makna makna tak terrumuskan.
Saya membentuk identitas tubuh saya sebagai puisi puisi ringan dan karya seni yang tumbuh sebagai sentuhan yang keluar dari tubuh saya, nyala mata yang tepat kaulihat saat kau lekat menatap saya.

Kelak, saya menjejali identitas saya sebagai cinta, yang akan dimengerti, jika kau melihat rindangnya dedaunan, kuatnya akar, dan hangatnya kecoklatan kayu pada mataku.

Dongeng Putri Kencur dan Tomat


Pada suatu hari, hiduplah seekor Putri Kencur yang hidup di kerajaan megah di sebuah halaman nenek nenek di Negeri Utara. Putri Kencur ini suka sekali makan makanan enak, belajar sulap dan bernyanyi untuk pohon pohon sahabatnya. Putri Kencur memang anak yang baik, semuanya bilang begitu. Putri Kencur adalah anak yang manis, dan disayangi semua orang. Siapa yang bisa nggak sayang sama Putri Kencur? Begitu kadang ucap orang orang di sekeliling Putri Kencur.

Tapi Putri Kencur, punya satu rahasia. Rahasia yang nggak semua orang tahu tentang Putri Kencur. Putri Kencur jatuh cinta dengan Tomat. Iya Tomat. Aneh bukan? Kencur mencintai Tomat. Padahal, kata Raja Kencur, ayah Putri Kencur, Putri Kencur harusnya menikah dengan Kencur juga, entah, pangeran kencur dari negeri mana. Harus pangeran, bisa hancur kerajaan megah ini kalau Putri Kencur menikah dengan Putri Kencur juga, nggak boleh kan ada dua puteri dalam satu istana? Apalagi Raja Kencur juga, nggak boleh. Nah Ratu? Juga nggak boleh. Apalagi kencur kencur lainnya, pokoknya harus Pangeran Kencur. Lah ini malah Tomat, duh Putri Kencur mau taruh mukanya dimana, mahkota yang ia jaga mengkilat di kepalanya tidak boleh sampai jatuh, Putri Kencur ini harus tetap jaga image, Putri Kencur adalah putri yang gagah dan tahu diri, memegang prinsip, kalau ia harus menjaga dan membentuk dirinya sendiri dengan kokoh di dunia yang menyebalkan ini.

Tapi ia jatuh cinta dengan Tomat. Duh kuulang sekali lagi ya biar kalian semua tahu betapa mengejutkannya seorang Kencur jatuh cinta dengan Tomat. Tomat yang berbeda sama sekali dengan Kencur, segalanya berbeda! Negerinya, pola hidupnya, sampai mungkin, definisi jatuh cintanya juga berbeda. Tapi Tomat ini, duh Putri Kencur suka sekali Tomat ini. Tomat yang ini itu baik sekali, warnanya merah seperti warna lipstick kesukaan Putri Kencur, matanya besar seperti mata anak anak dan Putri Kencur suka sekali anak anak, Tomat yang ini itu walaupun suka cheesy dan annoying tapi ya begitu, bikin kesel kesel gemas.

Jatuh cinta dengan Tomat, adalah pengecualian paling berani yang pernah dilakukan Putri Kencur. Ya bayangkan saja kalau sampai Raja Kencur, atau sahabat sahabat Putri Kencur tahu. Apalagi Tomat ini tuh bukan dari sebuah kerajaan, dia bukan Pangeran Tomat, bukan juga Putri Tomat, apalagi Banci Tomat. Ah Putri Kencur juga tidak begitu peduli. Ia tidak peduli Tomat itu apa, Tomat ya Tomat.
Sampai suatu hari, Putri Kencur dan Tomat sedang berjalan jalan di Kerajaan Raja Kencur, Putri Kencur dan Tomat bertemu KoliKoli, Brokoli teman Raja Kencur. KoliKoli ini curiga pada Tomat, tapi Putri Kencur bilang kalau mereka hanya berteman. Putri Kencur takut ketahuan oleh KoliKoli. Putri Kencur lupa, kalau ia menyakiti hati Tomat.

Tomat juga ternyata jatuh cinta dengan Putri Kencur. Tomat begitu sedih ketika ia tidak diakui oleh Putri Kencur. Sebetulnya ia tahu juga kalau sesuatu seperti ini akan terjadi, entah sampai kapan. Tapi, tetap saja mereka berdua sedih. Putri Kencur sedih karena menyakiti hati Tomat, dan Tomat sedih, jelas, iyalah kan Tomat yang disakiti.
Putri Kencur menerima Tomat, dengan seluruh tubuh Tomat yang bulat dan merah itu. Cuma ya, Putri Kencur nggak bisa terima dengan masyarakat Kerajaan Raja Kencur yang nantinya tidak menerima dirinya yang mencintai Tomat, membingungkan ya. Putri Tomat menerima Tomat, dan berharap Tomat juga dapat menerima dirinya, dirinya sendiri maksudnya. Putri Tomat tidak peduli kok kalau suatu saat Putri Kencur tidak diterima lagi oleh Tomat asal Tomat bisa menerima dirinya sendiri, itu cukup bagi Putri Kencur, setidaknya supaya mereka bisa hidup bahagia, meskipun sendiri sendiri nantinya. Kisah cinta mereka toh juga tidak bisa dibawa kemana mana nantinya, entahlah, pengetahuan dan kecerdasan Putri Kencur belum sampai situ. Putri Kencur cuma berharap ia melakukan sesuatu yang baik, apalagi untuk Tomat.

Putri Kencur masih mau melakukan banyak hal dengan Tomat, meskipun seringkali cuma bikin kesal Tomat. Tapi kadang, bikin kesal Tomat juga menyenangkan sih. Putri Kencur mungkin cuma bisa menunggu Tomat, dan membiarkan Tomat menyelesaikan masalahnya sendiri. Putri Kencur memang seharusnya sadar, cara pikir Kencur nggak bisa selamanya diterapkan ke Tomat, lah pupuknya aja sudah beda. Putri Kencur percaya, Tomat sudah dewasa dan mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Putri Kencur Cuma ingin Tomat tahu, kalau ia cuma khawatir, kalau ia Cuma menginginkan yang baik baik aja untuk Tomat. Putri Kencur juga ingin Tomat tahu, kalau Putri Kencur kepingin lagi diajak ke Ancol, pas Ancol lagi sepi. Putri Kencur juga kepingin makan seblak pedes level tiga lagi.

Sekarang pencerita bingung nih, mau tulis “Akhirnya mereka hidup bahagia selama lamanya” atau nggak. Putri Kencur dan Tomat nggak peduli selama lamanya kok, kalau kata Tomat sih, mau mecahin rekor dua tahun, kalau Putri Kencur sih percaya garis tangan, kita lihat saja, garis tangan Putri Kencur dan Tomat bakal sampai mana.


Diberdayakan oleh Blogger.

Kenalan dengan saya disini!